Pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mengemban fungsi tersebut pemerintah menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Otonomi dalam penyelenggaraan pendidikan memberikan implikasi terhadpa masing-masing daeah untuk mengembangkan pendidikan sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Dalam hal ini maka akan terdapat variasi baik pengelolaan maupun perolehan pendidikan pada masing-masing daerah tersebut. Dengan demikian, kurikulum konvensional-sentralistik yang berlaku untuk semua daerah dan lapisan masyarakat tampaknya sudah tidak relevan lagi diterapkan saat ini. keadaan seperti itu memberikan konsekuensi terhadap perubahan paradigma tentang kurikulum sekolah di mana diperlukan suatu kurikulum yang dapat mengakomodasi semua potensi yang dimiliki oleh masing-masing daerah (Asep Herry Hernawan, 2007).
Implementasi Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dijabarkan ke dalam sejumlah peraturan antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Peraturan Pemerintah ini memberikan arahan tentang perlunya disusun dan dilaksanakan delapan standar nasional pendidikan, yaitu: standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan. Dalam aturan tersebut ditetapkan pula kerangka dasar dan struktur kurikulum, beban belajar, kurikulum tingkat satuan pendidikan dan kalender pendidikan/akademik.
Kurikulum tingkat satuan adalah kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan. Pemahamannya adalah pada tingkat satuan pendidikan, yaitu sekolah harus dikembangkan kurikulum sesuai dengan kebutuhan dan kondisi masing-masing. Tujuan pendidikan menengah adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, ahlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut. Sebagai pelaksanaan UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dikeluarkan Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan undang-undang tersebut.
Peraturan Pemerintah yang telah dikeluarkan dan harus segera dilaksanakan penyesuaian-penyesuaian aturan dibawahnya adalah Peraturan Pemerintah tentang Standar Nasional Pendidikan. Peraturan Pemerintah tentang Standar Nasional Pendidikan mengatur tentang stndar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan dan standar penilaian pendidikan. Dalam aturan tersebut ditetapkan pula kerangka dasar dan struktur kurikulum, beban belajar, kurikulum tingkat satuan pendidikan dan kalender pendidikan/akademik.
Kurikulum tingkat satuan pendidikan adalah kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan. Pemahamannya adalah bahwa pada tingkat satuan pendidikan, yaitu sekolah, harus dikembangkan kurikulum sesuai dengan kebutuhan dan kondisinya masing-masing. Agar pengembangan kurikulum di tingkat satuan pendidikan dapat dilaksanakan sesuai kondisi nyata, maka sekolah harus memahami aturan tentang hal apa saja yang dapat ditetapkan di masing-masing sekolah dan hal apa saja yang telah ditetapkan secara nasional sebagai standar nasional.
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah tentang Standar Nasional Pendidikan penyusunan kurikulum pada satuan pendidikan jenjang pendidikan dasar dan menengah berpedoman pada panduan yang disusun oleh BSNP. Untuk keperluan tersebut, sesuai tugas dan fungsinya sebagai pengembang kurikulum, Pusat Kurikulum membantu BSNP untuk mengembangkan panduan kurikulum untuk tingkat satuan pendidikan. Hal lain yang perlu dicermati sehubungan dengan implikasi perubahan kurikulum setelah terbitnya Peraturan Pemerintah tentang Standar Nasional Pendidikan adalah menjawab pertanyaan mengapa harus ada kurikulum tingkat satuan pendidikan.
Pentingnya kurikulum dikembangkan berdasarkan keseimbangan antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah. Kompetensi dan materi kurikulum dikembangkan berdasarkan keharmonisan antara kepentingan nasional untuk membangun kehidupan berbangsa yang kuat dan bermartabat dengan kepentingan daerah baik kepentingan sosial-budaya-ekonomi setempat maupun dalam kontribusinya terhadap pengembangan kehidupan daerah dan sebaliknya kepentinagn daerah tidak boleh diabaikan demi kepentingan nasional. Tujuan akhir dari pengembangan kurikulum adalah pengembangun silabus dan penilaian pembelajaran (hasil belajar) yang difokuskan pada mata pelajaran disekolah.
Hubungan antara silabus dengan penilaian hasil belajar adalah silabus merupakan muatan bahan ajar yang harus dikuasai siswa, sedangkan penilaian hasil belajar merupakan kegiatan mengadakan penilaian setelah siswa mengikuti pembelajaran pada materi yang terangkum pada silabus sebagaimana yang tertuang dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).


BAB II
PEMBAHASAN


I. Implementasi Uu No 14 Tahun 2005, Tentang Guru dan Dosen
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen telah menegaskan bahwa guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional (pasal 8); Kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat (pasal 9); dan Kompetensi guru sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi (pasal 10).
Selanjutnya ditegaskan bahwa “guru yang belum memiliki kualifikasi akademik dan sertifikat pendidik wajib memenuhi kualifikasi akademik dan sertifikat pendidik paling lama sepuluh tahun sejak berlakunya undang-undang ini” (pasal 82 ayat 2). Konsekuensi logis dari pemberlakuan undang-undang tersebut, pemerintah dan penyelenggara pengadaan tenaga kependidikan atau Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) diharapkan dapat segera memfasilitasi pelaksanaan program percepatan peningkatan kualifikasi akademik guru dengan akses yang lebih luas, berkualitas dan tidak mengganggu tugas serta tanggung jawabnya di sekolah.
Sementara itu jumlah guru dari berbagai satuan pendidikan (TK, SD, SMP, SMA, SMK, dan SLB) yang harus ditingkatkan kualifikasi akademiknya mencapai 1.456.491 orang atau 63% dari jumlah guru yang ada di Indonesia, di luar guru yang di bawah pengelolaan Departemen Agama (RA, MI, MTs, MA, dan MAK). Pada satuan pendidikan TK, jumlah guru yang harus ditingkatkan kualifikasinya sebanyak 155.661 atau 89% dari jumlah guru TK yang ada. Pada satuan pendidikan SD, jumlah guru yang harus ditingkatkan kualifikasinya sebanyak 1.041.793 atau 83%, jumlah guru pada satuan pendidikan SMP yang harus ditingkatkan kualifikasinya sebanyak 185.603 atau 38%; jumlah guru pada satuan pendidikan SMA yang harus ditingkatkan kualifikasinya sebanyak 34.547 atau 15% dan pada satuan pendidikan SMK, jumlah guru yang harus ditingkatkan kualifikasinya sebanyak 33.297 atau 21% serta pada satuan pendidikan SLB, jumlah guru yang harus ditingkatkan kualifikasinya sebanyak 5.590 atau 55% dari jumlah guru SLB yang ada (Direktorat Profesi Pendidik Ditjen PMPTK Depdiknas Tahun 2007).
Beberapa upaya telah dilaksanakan dalam rangka percepatan peningkatan kualifikasi guru dalam jabatan, antara lain pada tahun 2006, sejumlah 18.754 guru ditingkatkan kualifikasinya ke S-1 melalui: (1) UT program (12.616 orang), (2) APBNP-jalur formal konvensional (5.000 orang), (3) PJJ berbasis ICT (1.000 orang), dan (4) PJJ berbasis KKG (1.500 orang). Tahun 2007 sebanyak 170.000 orang guru dari berbagai satuan pendidikan mendapat bantuan biaya pendidikan melalui dana dekonsentrasi ke dinas pendidikan provinsi. Sekalipun telah dilaksanakan upaya tersebut, hingga saat ini jumlah guru yang harus ditingkatkan kualifikasi akademiknya masih banyak, sehingga diperlukan alternatif lain untuk mengatasinya.
Upaya percepatan peningkatan kualifikasi akademik guru untuk semua satuan pendidikan tidak mungkin tercapai hanya dengan sistem penyelenggaran pendidikan yang ada saat ini. Solusi inovatif yang ditawarkan dalam penyelenggaraan pendidikan yang memungkinkan guru memiliki kesempatan lebih luas, berkualitas, dan tidak mengganggu tugas serta tanggung jawabnya adalah penyelenggaraan Program Sarjana (S-1) Kependidikan bagi Guru dalam Jabatan. Program ini diharapkan dapat mewujudkan sistem penyelenggaraan pendidikan yang efisien, efektif, dan akuntabel serta menawarkan akses layanan pendidikan yang lebih luas tanpa mengabaikan kualitas.


1. Pengertian
Program Sarjana (S-1) Kependidikan bagi Guru dalam Jabatan adalah suatu program penyelenggaraan pendidikan yang secara khusus diperuntukkan bagi guru tetap dalam jabatan. Program ini dilaksanakan oleh penyelenggara pengadaan tenaga kependidikan yang dalam proses perkuliahannya menggunakan pendekatan dual mode melalui pengintegrasian sistem pembelajaran konvensional (tatap muka di kampus) dan sistem pembelajaran mandiri.

2. Tujuan
Penyusunan naskah akademik Program Sarjana (S-1) Kependidikan bagi Guru dalam Jabatan bertujuan untuk:
a. Mendukung upaya percepatan peningkatan kualifikasi akademik bagi guru dalam jabatan sesuai dengan persyaratan yang tertuang dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
b. Memberikan acuan dalam pengambilan kebijakan tentang penerapan penyelenggaraan percepatan peningkatan kualifikasi akademik bagi guru dalam jabatan melalui Program Sarjana (S-1) Kependidikan bagi Guru dalam Jabatan.
c. Memberikan acuan bagi perguruan tinggi dalam menyelenggarakan percepatan peningkatan kualifikasi akademik bagi guru dalam jabatan melalui Program Sarjana (S-1) Kependidikan bagi Guru dalam Jabatan
.
A. Landasan Pengembangan
1. Landasan Filosofis
Manusia dikarunia oleh Sang Pencipta berupa kemampuan untuk membuat jarak (distansi) diri dan akunya sendiri. Suatu anugerah yang luar biasa, yang menempatkan posisi manusia sebagai makhluk yang memiliki potensi untuk menyempurnakan diri. Aku seolah-olah keluar dari dirinya dengan berperan sebagai subjek, kemudian memandang dirinya sendiri sebagai objek. Untuk melihat kelebihan-kelebihan yang dimiliki serta kekurangan-kekurangan yang ada pada dirinya. Pada saat seperti ini seorang aku dapat berperan ganda yaitu sebagai subjek dan sebagai objek, suatu aktivitas yang tak mudah untuk dilakukan. Dengan peran gandanya tersebut, dapat terjadi pada suatu saat manusia berperan sebagai polisi, hakim atau pendidik atas dirinya atau dirinya mungkin justru menjadi pesakitan, terdakwa, atau terdidik. Peran manusia yang paling besar adalah menghadapi musuh yang ada dalam dirinya sendiri. Inilah manifestasi dari puncak karakteristik manusia yang menjadikannya lebih unggul dari hewan.
Drijarkara (dalam Dimyati, 2001) menyebut kemampuan tersebut dengan istilah ”meng-aku”, yaitu kemampuan yang mengeksplorasi potensi yang ada pada diri aku, dan memahami potensi tersebut sebagai kekuatan yang dapat dikembangkan. sehingga aku dapat berkembang kearah kesempurnaan diri. Kenyataan ini mempunyai implikasi pedagogis, yaitu keharusan pendidikan untuk menumbuhkembangkan kemampuan meng-aku pada peserta didik. Hal ini berarti pendidikan diri sendiri oleh Langeveld disebut self-forming yang perlu mendapat perhatian.
Berdasarkan penjelasan di atas, manusia lahir telah dikaruniai dimensi hakikat manusia yang masih dalam wujud potensi, belum teraktualisasi menjadi wujud kenyataan atau ”aktualisasi”. Dari wujud potensi menjadi aktualisasi terdapat rentangan proses yang mengandung pendidikan untuk berperan dalam memberikan jasanya. Seseorang yang dilahirkan dengan bakat seni misalnya, memerlukan pendidikan untuk diproses menjadi seorang seniman yang handal. Immanuel Kant (dalam Soegiono (ed), 2005) menyatakan bahwa manusia akan dapat menjadi manusia melalui pendidikan. Melalui pendidikan diharapkan potensi yang ada pada peserta didik (manusia) akan tumbuh dan berkembang secara optimal. Pendapat tersebut sejalan dengan yang dikemukakan oleh Langeveld (dalam Soegiono, 2005) bahwa:
1. Manusia itu pada hakikatnya adalah animal educable, yaitu sebagai makhluk yang dapat dididik. Keyakinan ini dapat menimbulkan optimisme bahwa bagaimanapun sulitnya manusia tetap dapat dididik, sehingga tidak mudah putus asa untuk mencari upaya melaksanakan tugas mendidik.
2. Manusia adalah sebagai animal educandum, artinya pada hakikatnya manusia harus dididik. Berarti pendidikan itu merupakan keharusan bagi manusia agar menjadi manusia yang layak.
3. Manusia sebagai homo educandus, bahwa manusia itu selain dapat dan harus dididik juga harus mendidik termasuk mendidik diri sendiri. Berarti melakukan kegiatan mendidik pada hakikatnya mendidik diri sendiri yang memang harus dapat mendidik.

Pada hakikatnya manusia lahir memiliki potensi yang harus ditumbuhkembangkan melalui pendidikan. Berkaitan dengan hal tersebut, untuk menghasilkan guru yang profesional, maka potensi yang ada pada dirinya harus diaktualisasikan melalui pendidikan bagi guru dalam jabatan dengan harapan para guru dapat mengembangkan kompetensi yang harus dimiliki secara optimal. Pendidikan guru dalam jabatan pada dasarnya merupakan suatu proses interaksi antara guru sebagai peserta didik dengan lingkungan belajarnya yang dilakukan secara terarah, terencana, dan sistemik. Lingkungan belajar yang dimaksud baik lingkungan fisik (alat, media, sumber belajar) maupun social (instruktur, nara sumber, peserta lain). Supaya hasil belajar optimal, maka setiap peristiwa pendidikan guru harus dirancang secara sistematis dan sistemik disesuaikan dengan karakteristik orang dewasa. Hal ini disebabkan karena peserta didik yaitu para guru, adalah orang dewasa dan telah mencapai kematangan hampir pada seluruh aspek kepribadian: fisik, sosial, emosional, nilai dan intelektual.
Ada pandangan seperti dikemukakan E.L. Thorndike (dalam Zainudin Arif, 1986) bahwa kemampuan untuk belajar seseorang akan menurun secara perlahan sesudah umur 20 tahun. Tetapi hasil studi terakhir yang dikemukakan oleh Irving Lorge menunjukkan bahwa menurunnya itu hanya dalam kecepatan belajarnya dan bukan dalam kekuatan inteleknya. Selanjutnya disebutkan bahwa dasar kemampuan untuk belajar masih ada sepanjang hidup orang tersebut. Dengan demikian, apabila seseorang tidak menampilkan kemampuan belajar yang sebenarnya, hal tersebut disebabkan karena beberapa faktor seperti orang tersebut sudah lama meninggalkan cara belajar yang sistematik atau karena adanya perubahan-perubahan fisiologik.
Pada literatur lain, Nana Syaodih Sukmadinata (2000) menyebutkan bahwa perkembangan sosial, terutama kemampuan bekerja sama, memimpin dan berkomunikasi masih terus berkembang. Aspek emosional dan nilai, termasuk kualitas dan ketajaman berpikir masih terus berkembang sesuai dengan tingkat pendidikan yang diikuti serta bidang pekerjaan yang ditekuninya. Kemampuan mengaplikasikan kecakapan-kecakapan berpikir tahap tinggi, seperti berpikir deduktif-induktif, berpikir analitis-sintetis, berpikir evaluatif, berpikir kreatif, dan pemecahan masalah, bagi orang-orang yang bergerak dibidang ilmu, berkembang sampai masa dewasa akhir.
Memperhatikan beberapa pandangan atau asumsi tersebut, maka para guru sebagai orang dewasa masih memiliki peluang dan kesempatan untuk meningkatkan kemampuan belajarnya seoptimal mungkin, sebab pada hakikatnya mereka tidak pernah meninggalkan belajar sebagai konsekuensi dari salah satu bidang tugasnya yaitu mengajar. Program-program pendidikan guru bisa lebih optimal hasilnya apabila selalu memperhatikan perkembangan dan prinsip-prinsip belajar orang dewasa dalam pengertian bahwa pendekatan pendidikan yang digunakan disesuaikan dengan karakteristik orang dewasa. Pendekatan pembelajaran untuk peserta yang semakin dewasa, unsur pembimbingan akan semakin berkurang, sedangkan unsur diskusi, penalaran, dan belajar mandiri akan semakin kuat. Metode pembelajaran dalam pendidikan orang dewasa tidak hanya untuk menyampaikan bahan belajar semata, tetapi lebih luas dari itu, yaitu mengelola kegiatan pembelajaran yang dapat menumbuhkan cara belajar untuk mencapai tujuan secara lebih tepat.
Dalam hal ini, Ishak Abdulhak (2000) mengungkapkan bahwa kedudukan metode dalam pembelajaran orang dewasa mempunyai ruang lingkup sebagai cara dalam: pemberian dorongan, pengungkap tumbuhnya minat belajar, penyampaian bahan belajar, pencipta iklim belajar yang kondusif, energi untuk melahirkan kreativitas, pendorong untuk penilaian diri, dan pendorong dalam melengkapi kelemahan hasil belajar. Mengingat pentingnya posisi peserta didik sebagai orang dewasa maka diperlukan kajian metodologis tentang bagaimana penyelenggaraan pendidikan bagi orang dewasa yang lebih efektif dalam arti memperoleh hasil yang maksimal. Untuk meningkatkan kualifikasi akademik bagi guru dalam jabatan perlu dikembangkan pendekatan pendidikan yang memiliki karakteristik yang lebih bersifat mandiri (independent). Guru sebagai mahasiswa tidak selalu berada bersama-sama pada satu tempat dan waktu tertentu. Program pendidikan dapat menggunakan bahan belajar yang memungkinkan dapat dipelajari sendiri oleh guru sesuai dengan kesempatan dan kemampuan yang dimilikinya. Penerapan konsep self-instruction atau pembelajaran mandiri dalam kegiatan pendidikan profesional merupakan suatu kekuatan yang sudah diakui keunggulannya.
Pembelajaran mandiri merupakan suatu istilah yang inklusif yang digunakan untuk menggambarkan situasi pembelajaran dalam suatu kegiatan pendidikan dimana para peserta didik memiliki tanggung jawab terhadap kegiatan belajar secara mandiri. Dalam program-program pendidikan yang menerapkan pendekatan pembelajaran mandiri, para peserta didik biasanya bekerja tanpa pengawasan secara langsung, dapat menentukan percepatan belajarnya sendiri, serta diberi kesempatan untuk memilih aktivitas dan sumber belajar.

2. Landasan Yuridis
Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 42 dinyatakan bahwa: (1) pendidik harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional, (2) pendidik untuk pendidikan formal pada jenjang pendidikan usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan Selanjutnya, salah satu upaya yang diamanatkan dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, yaitu menjadikan jabatan guru sebagai jabatan profesional sehingga diharapkan dapat meningkatkan citra guru dan memberikan kontribusi terhadap peningkatan kualitas pendidikan.
Kualifikasi akademik guru harus diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana (S-1) atau program diploma empat (D-IV), dan kepemilikan kompetensi utuh guru harus ditandai dengan perolehan sertifikat pendidik yang selanjutnya akan diikuti dengan penghargaan berupa tunjangan profesi. Ketentuan ini berlaku bagi semua guru pada semua jenjang dan satuan pendidikan. Berkaitan dengan masih banyaknya guru yang belum memiliki kualifikasi akademik seperti yang dituntut oleh peraturan perundang-undangan diperlukan prakarsa yang inovatif dan efisien untuk memberikan layanan pendidikan yang memungkinkan tidak mengganggu pelaksanaan tugas-tugas keseharian masing-masing guru.
Sebagai salah satu alternatif dalam rangka percepatan peningkatan kualifikasi akademik guru sebagaimana yang diamanatkan dalam peraturan perundang-undangan di atas, yaitu dengan penyelenggaraan program strata 1 (S-1) bagi guru dalam jabatan dengan menggunakan pendekatan Dual Mode. Agar dapat dipertanggungjawabkan, baik dari sisi akademik maupun pengelolaannya, maka dalam penyelenggaraannya harus dilaksanakan oleh perguruan tinggi penyelenggara program pengadaan guru yang terakreditasi dan memenuhi persyaratan. Standar kualifikasi akademik guru yang dikembangkan oleh penyelenggaraan program tersebut harus mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16/2007 tentang standar kualifikasi akademik dan penyelenggaraan program mengacu pada Keputusan Menteri Nasional Republik Indonesia Nomor 234/U/2000 tentang Pedoman Pendirian Perguruan Tinggi, dimana program sarjana (S-1) yang diselenggarakan perguruan tinggi harus mempunyai beban studi minimal 144 sks dan maksimal 160 sks dan lama program antara 8 sampai 14 semester setelah Sekolah Lanjutan Tingkat Atas.
Selain peraturan perundang-undangan seperti dikemukakan di atas, secara yuridis penyelenggaraan program ini didukung juga dengan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No.232/U/2000 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa, Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No.107/U/2001 tentang Penyelenggaraan Program Pendidikan Tinggi Jarak Jauh, Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 045/U/2002 tentang Kurikulum Inti Pendidikan Tinggi dan Standar kompetensi guru yang dikeluarkan oleh Direktorat Ketenagaan Ditjen Dikti Depdiknas tahun 2006.

3. Landasan Konseptual
Sejalan dengan perkembangan yang terjadi saat ini, terutama perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dalam dunia pendidikan, banyak bermunculan perguruan tinggi yang di samping masih tetap melayani masyarakat untuk mengikuti pendidikan konvensional juga menyelenggarakan pendidikan jarak jauh. Lembaga pendidikan tinggi yang menyelenggarakan program pendidikan tatap muka dan jarak jauh sekaligus dengan memanfaatkan berbagai teknologi baru untuk memenuhi kebutuhan mahasiswa yang beragam seperti ini disebut pendidikan tinggi dengan menerapkan modus ganda (Dual Mode). Menurut Abrioux (2006), lembaga pendidikan dengan Dual Mode adalah lembaga yang sistem pembelajaran dan administratifnya mendukung pendidikan jarak jauh dan pendidikan berbasis kampus (campus-based). Keegan (1991) menggunakan istilah mixed institutions untuk lembaga pendidikan biasa yang menyelenggarakan pendidikan jarak jauh.
Selanjutnya, Suparman dan Zuhairi (2004) mengemukakan bahwa pendidikan tinggi yang menerapkan pendekatan Dual Mode adalah pendidikan yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan tinggi biasa yang menyelenggarakan pendidikan jarak jauh.
Hal utama yang menyebabkan diterapkannya pendidikan jarak jauh adalah pentingnya belajar sepanjang hayat, perkembangan ekonomi yang berbasis pengetahuan global, kompetisi yang tergantung pada perbaikan dan perubahan terus-menerus serta tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Keadaan ini menuntut lembaga pendidikan tinggi untuk merespon terhadap tuntutan tersebut dengan menyediakan program-program, kualifikasi, dan cara penyampaian baru. Bates (2000) mengemukakan bahwa sistem pendidikan tinggi perlu merespons tuntutan yang berkenaan dengan asesmen kemampuan awal berupa pengakuan hasil belajar sebelumnya (recognition of prior learning), penyampaian pembelajaran secara luwes, tuntutan meningkatkan atau memperbaharui profesionalisme, sertifikasi non-kredit dan resertifikasi serta pengukuran hasil belajar.
Faktor lain yang mendorong tumbuhnya pendidikan tinggi Dual Mode adalah perkembangan teknologi informasi yang telah berpengaruh terhadap seluruh aspek kehidupan. Teknologi informasi juga memiliki potensi untuk memperbaiki efektivitas pembelajaran. Akses terhadap sumber belajar melalui internet memberikan kesempatan kepada mahasiswa yang semula di luar jangkauan untuk memperoleh informasi lebih luas. Teknologi yang dimanfaatkan secara bijaksana dapat memfasilitasi penguasaan pengetahuan tingkat tinggi sesuai dengan karakteristik masyarakat berbasis pengetahuan. Hal ini menunjukkan tekanan ideologis dan ekonomis pada sistem pendidikan untuk memanfaatkan teknologi dalam pembelajaran.
Pendidikan tinggi yang menawarkan berbagai program pendidikan jarak jauh dapat disebabkan oleh keinginan program yang ada untuk berubah menjadi program pendidikan jarak jauh atau karena kebutuhan masyarakat. Dengan pendekatan Dual Mode ini, pendidikan tinggi dapat meningkatkan akses masyarakat, dalam hal ini guru, untuk mengikuti percepatan peningkatan kualifikasi akademik ke jenjang S-1. Croft (Tau, 2006) mengidentifikasi empat kondisi yang menjamin keberhasilan implementasi pendidikan jarak jauh yang menerapkan Dual Mode, yaitu: adanya unit administratif dengan beberapa tingkat otoritas, memiliki kerjasama dengan unit yang lain, memiliki staf yang terlatih, dan dana yang memadai. Sehubungan dengan itu, diperlukan pandangan dan pendekatan sistem yang akan mencakup keempat kondisi tersebut.
Pelaksanaan pendidikan tinggi Dual Mode menuntut pemahaman sistem (sistem universitas) dan penataan hubungan subsistem termasuk peran masing-masing dalam menginformasikan rancangan sistem pendidikan jarak jauh yang sesuai dengan konteks. Struktur dasar pendidikan tinggi Dual Mode menuntut adanya unit atau bagian yang bertanggung jawab untuk mengkoordinasikan penyediaan atau pengembangan program-program pendidikan jarak jauh (Tau, 2006). Fungsi unit atau bagian tersebut memfasilitasi proses pendidikan jarak jauh yang mencakup pengembangan bahan belajar, pendistribusian bahan belajar, tutorial dan konseling, laporan peserta didik, serta penilaian.
Banyak universitas di Indonesia dan dunia yang telah memperkenalkan pendidikan jarak jauh untuk berjalan bersama-sama dengan pendidikan konvensional dalam satu lembaga yang memunculkan pendidikan tinggi dengan Dual Mode. University of Wisconsin dan University of Houston di Amerika, University of New England di Australia, Universiti Sains Malaysia di Malaysia, The Universite du Quebec a Montreal (UQAM) dan Thompson Rivers University (TRU) di Kanada, Indira Gandhi National Open University (IGNOU) di India, Ramkhamhaeng University di Thailand, The University of Mindanao On-the Air (UM Air) di Filipina, serta Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Institut Bank Indonesia (IBI) di Indonesia. (Robinson, B. & Latchem, (Ed), 2003). Dari uraian tersebut tampak bahwa karakteristik umum jenis pendidikan tinggi Dual Mode adalah mahasiswa yang mengikuti pendidikan jarak jauh tidak hanya melakukan belajar mandiri tetapi juga ada pertemuan terstruktur di kampus. Pertemuan tersebut wajib diikuti oleh mahasiswa. Selain itu, bahan belajar yang digunakan dan soal ujian dikembangkan oleh staf pengajar pada lembaga pendidikan itu sendiri. Hak dan kewajiban mahasiswa pendidikan jarak jauh sama dengan hak dan kewajiban mahasiswa pendidikan biasa. Mata kuliah yang harus diambil dan ujian yang harus diikuti, serta ijazah atau sertifikat yang diperoleh mahasiswa pendidikan jarak jauh sama dengan yang diperoleh mahasiswa pendidikan biasa.
Gambaran di atas menunjukkan bahwa pendidikan tinggi Dual Mode memiliki beberapa keunggulan. Pertama, kombinasi antara bahan belajar yang dikembangkan dalam bentuk bahan belajar tercetak dengan kegiatan tatap muka lebih memungkinkan mahasiswa untuk memperoleh bahan belajar yang up to date. Kedua, dengan adanya pertemuan tatap muka yang terjadwal, dosen dapat mengontrol atau mengawasi penguasaan mahasiswa terhadap materi yang bersifat aplikasi dan keterampilan.

4. Landasan Praksis
Guru merupakan kunci dalam peningkatan mutu pendidikan dan mereka berada di titik sentral dari setiap usaha reformasi pendidikan yang diarahkan pada perubahan-perubahan kualitatif. Setiap usaha peningkatan mutu pendidikan seperti pembaharuan kurikulum, pengembangan metode-metode mengajar, penyediaan sarana dan prasarana, hanya akan berarti apabila melibatkan guru. Dengan posisi seperti itu, jabatan atau pekerjaan guru termasuk dalam jabatan profesional. Dedi Supriadi (1999) mengungkapkan bahwa jabatan atau pekerjaan profesional itu secara umum memiliki ciri-ciri pokok. Pertama, pekerjaan itu mempunyai fungsi dan signifikansi sosial karena diperlukan mengabdi kepada masyarakat, di pihak lain, pengakuan masyarakat merupakan syarat mutlak bagi suatu profesi, jauh lebih penting dari pengakuan pemerintah. Kedua, profesi menuntut keterampilan tertentu yang diperoleh lewat pendidikan dan latihan yang “lama” dan intensif serta dilakukan dalam lembaga tertentu yang secara social dapat dipertanggungjawabkan (accountable). Ketiga, profesi didukung oleh suatu disiplin ilmu (a systematic body of knowledge), bukan sekedar serpihan atau hanya common sense. Keempat, ada kode etik yang menjadi pedoman perilaku anggotanya beserta sanksi yang jelas dan tegas terhadap pelanggar kode etik.
Pengawasan terhadap ditegakkannya kode etik dilakukan oleh organisasi profesi. Kelima, sebagai konsekuensi dari layanan yang diberikan kepada masyarakat, maka anggota profesi secara perorangan ataupun kelompok memperoleh imbalan finansial atau materiil. Berdasarkan syarat-syarat tersebut, Dedi Supriadi (1999) menganggap bahwa jabatan sebagai guru merupakan jabatan atau pekerjaan yang berada pada taraf profesi yang sedang tumbuh (emerging/growing proffesions) dan belum mencapai suatu profesi dalam arti yang sesungguhnya. Sementara pendapat ahli yang lain, ada juga yang berpandangan bahwa jabatan atau pekerjaan guru tersebut sudah merupakan jabatan profesional penuh, karena pekerjaan sebagai guru adalah pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh mereka yang secara khusus dipersiapkan untuk itu dan bukan pekerjaan yang dilakukan oleh mereka yang karena tidak dapat atau tidak memperoleh pekerjaan lain (Nana Sudjana, 1990).
Pada pertengahan tahun 1980-an, pengkajian mengenai profesionalisme keguruan terus menerus dilakukan, dan hal itu masih berlangsung hingga sekarang. Pengkajian tersebut didorong oleh kuatnya tuntutan akan profesionalisme guru yang diyakini merupakan indikator utama dalam peningkatan kualitas pendidikan, dan pada akhirnya peningkatan kualitas sumber daya manusia. Ujung dari pengkajian profesionalisme keguruan biasanya bertumpu pada penentuan atau perumusan kemampuan-kemampuan apa saja yang harus dipahami dan dikuasai oleh pemegang profesi tersebut. Hal ini terjadi karena suatu jabatan profesi menuntut adanya kemampuan atau kompetensi tertentu. Kemampuan atau kompetensi itu sangat diperlukan agar profesi tersebut berfungsi dengan sebaik-baiknya. Kemampuan itu juga sebagai pembeda antara satu profesi dengan profesi yang lainnya. Berbagai program sudah banyak dilakukan untuk meningkatkan mutu kemampuan guru, baik melalui pendidikan (pre-service education) maupun pelatihan-pelatihan dalam jabatan (in-service training). Sejak tahun 1992/1993 program penyetaraan kualifikasi guru sekolah dasar hingga setara diploma dua (D-II) sudah dimulai. Pelaksanaan program ini dilakukan secara bertahap mengingat banyaknya guru yang memerlukan peningkatan kualifikasi.
Dengan rata-rata kesertaan setiap tahun sebanyak 20 ribu orang guru, maka untuk guruguru yang belum memiliki kualifikasi diploma dua (D-II) pada saat itu diperlukan waktu sekitar 30 tahun. Adanya tuntutan perundang-undangan saat ini yang mempersyaratkan kualifikasi akademik minimal guru adalah sarjana (S-1) atau diploma empat (DIV) dan hal itu harus terpenuhi paling lama sepuluh tahun sejak berlakunya UU Nomor 14 Tahun 2005, maka perlu dilakukan upaya-upaya percepatan untuk meningkatkan kualifikasi akademik guru tersebut. Beberapa upaya telah dilakukan dalam rangka percepatan peningkatan kualifikasi guru, antara lain pada tahun 2006, sejumlah 18.754 guru SD ditingkatkan kualifikasinya ke S-1 melalui UT program (12.616 orang), APBNP-jalur formal konvensional (5.000 orang), PJJ berbasis ICT (1.000 orang), dan PJJ berbasis KKG (1.500). Tahun 2007 sebanyak 170.000 orang guru dari berbagai satuan pendidikan mendapat bantuan biaya pendidikan melalui dana dekonsentrasi lewat Dinas Pendidikan Provinsi. Sekalipun telah dilakukan upaya tersebut, hingga saat ini jumlah guru yang harus ditingkatkan kualifikasi akademiknya masih cukup banyak sehingga diperlukan alternatif lain untuk mengatasinya.
Program percepatan peningkatan kualifikasi akademik guru menjadi S-1 diIndonesia telah dilaksanakan oleh berbagai perguruan tinggi, baik melalui pendidikan tatap muka (konvensional) maupun pendidikan jarak jauh. Untuk peningkatan kualifikasi akademik guru SD melalui Program S-1 PGSD, sampai pada tahun 2008 telah ditetapkan sebanyak 50 perguruan tinggi sebagai penyelenggara program S-1 PGSD, dan pada tahun yang sama juga ditetapkan 23 perguruan tinggi sebagai penyelenggara pendidikan S-1 PGSD melalui system pendidikan jarak jauh atau dikenal dengan PJJ S-1 PGSD berbasis ICT yang tergabung dalam konsorsium LPTK. Kebijakan ini merupakan terobosan bagi penyelenggaraan pendidikan jarak jauh yang dilaksanakan oleh institusi pendidikan konvensional walaupun jumlah peserta yang mengikuti program ini masih dibatasi karena pembiayaan penyelenggaraan bersumber dari dana pemerintah pusat (blockgrant). Sementara itu, pada tahun yang sama pula Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) telah mencoba mengawali suatu program percepatan peningkatan kualifikasi akademik guru SD melalui Program S-1 PGSD Dual Mode. Program ini berupaya memadukan penyelengaraan pendidikan melalui kombinasi antara sistem pembelajaran tatap muka biasa dengan sistem pembelajaran mandiri.
Program ini ternyata mendapatkan respon yang sangat baik dari para guru dan pemerintah daerah kabupaten/ kota di Provinsi Jawa Barat. Hal ini terbukti dengan besarnya jumlah guru yang mendaftar dan saat ini sedang mengikuti program sebanyak 3.875 orang dengan biaya sendiri atau disubsidi oleh Pemerintah Daerah. Sedangkan peningkatan kualifikasi S-1 mata pelajaran untuk guru SMP, SMA, dan SMK serta SLB masih dilaksanakan secara konvensional diberbagai perguruan tinggi penyelenggara pendidikan guru. Berdasarkan pada berbagai pengalaman tersebut, maka penyelenggaraan program sarjana (S1) kependidikan bagi guru dalam jabatan merupakan kebijakan yang urgen, akomodatif, dan menyelesaikan persoalan.

B. Kurikulum dan Pembelajaran
1. Kurikulum
Kurikulum yang digunakan dalam Program Sarjana (S-1) Kependidikan bagi Guru dalam Jabatan adalah kurikulum yang berlaku di masing-masing peguruan tinggi penyelenggara. Standar Kompetensi Lulusan (SKL) yang menjadi acuan kurikulum mengacu pada Permendiknas Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru, yang meliputi empat kompetensi utama, yaitu: kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Dalam implementasinya, kurikulum Program Sarjana (S-1) Kependidikan bagi Guru dalam Jabatan perlu didesain dengan tepat sehingga memungkinkan adanya kelompok mata kuliah yang dilaksanakan melalui kegiatan pembelajaran tatap muka di kampus dan kelompok mata kuliah yang bisa dilaksanakan melalui kegiatan pembelajaran mandiri (self-instruction), baik dengan tutorial maupun tanpa tutorial.
Pengelompokan mata kuliah tersebut dapat diatur secara proporsional dan diputuskan oleh perguruan tinggi penyelenggara. Beban studi (satuan kredit semester) yang harus ditempuh untuk memperoleh peningkatan kualifikasi Program sarjana (S-1) Kependidikan bagi Guru dalam Jabatan disesuaikan dengan latar belakang pendidikan calon mahasiswa. Adapun jumlah beban studi dan lama program yang harus ditempuh mengacu pada Surat Keputusan Mendiknas Republik Indonesia Nomor 234/U/2000. Perguruan tinggi penyelenggara dapat memberikan pengakuan terhadap pengalaman kerja dan hasil belajar yang pernah diperoleh sebelumnya, baik dari jalur pendidikan formal maupun pendidikan non formal sebagai pengurang beban studi yang harus ditempuh. Pengalaman kerja dan hasil belajar sebagaimana dimaksud diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan terakreditasi. Pengakuan tersebut dilaksanakan sebagai bentuk penghargaan terhadap guru yang bisa menjadi ”credit earning” dalam penyelesaian program peningkatan kualifikasi akademik guru. Kelulusan pada Program Sarjana (S-1) Kependidikan bagi Guru dalam Jabatan diatur dan ditetapkan oleh perguruan tinggi penyelenggara sesuai dengan peraturan/pedoman akademik yang berlaku dan mahasiswa yang telah menyelesaikan program ini berhak memperoleh ijazah sarjana (S-1).

2. Pembelajaran
Perbedaan yang esensial antara Program Sarjana (S-1) Kependidikan bagi Guru dalam Jabatan dengan program reguler pada hakikatnya terdapat dalam pelaksanaan atau proses pembelajaran. Proses pembelajaran dalam Program Sarjana (S-1) Kependidikan bagi Guru dalam Jabatan dilaksanakan melalui pengintegrasian kegiatan perkuliahan/pembelajaran tatap muka di kampus dan atau perkuliahan termediasi dan kegiatan pembelajaran mandiri baik yang dilaksanakan dengan tutorial maupun tanpa tutorial.
Kegiatan pembelajaran tatap muka adalah interaksi langsung antara dosen dan mahasiswa di kampus, sedangkan perkuliahan termediasi adalah proses interaksi terjadwal antara dosen dan mahasiswa dalam mencapai tujuan/kompetensi melalui pemanfaatan berbagai jenis media dan teknologi. Pembelajaran mandiri adalah pembelajaran yang dilaksanakan dengan menggunakan Bahan Belajar Mandiri (BBM), baik dengan bantuan tutorial atau tanpa bantuan tutorial. Tutorial adalah bentuk bantuan belajar akademik yang secara langsung berkaitan dengan materi ajar, dan dapat dilaksanakan secara tatap muka atau termediasi. Mahasiswa dapat mempelajari BBM, baik secara perseorangan dan atau dalam kelompok belajar.
Kelompok belajar merupakan forum untuk berdiskusi antara mahasiswa dengan mahasiswa dalam mengidentifikasi dan memecahkan masalah. Dengan adanya kelompok belajar, efektivitas belajar mandiri mahasiswa dapat ditingkatkan. Belajar mandiri menitikberatkan pada motivasi belajar instrinsik dan disiplin belajar. Untuk itu, mahasiswa perlu memiliki kemampuan dalam merencanakan kegiatan belajarnya sendiri, menentukan jadwal belajar, dan melaksanakan kegiatan belajar dengan mempelajari bahan ajar atau sumber lain serta mengerjakan tugas-tugas. Penilaian hasil belajar adalah penilaian yang dilakukan terhadap proses dan hasil belajar mahasiswa, baik dalam perkuliahan tatap muka dan/atau termediasi maupun pembelajaran mandiri yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di perguruan tinggi penyelenggara.

C. Rekrutmen Mahasiswa
Rekrutmen mahasiswa dilakukan melalui prosedur seleksi yang kredibel dengan persyaratan administratif yang berlaku pada masing-masing perguruan tinggi penyelenggara. Calon mahasiswa dalam program ini adalah guru tetap yang berstatus sebagai PNS dan bukan PNS yang ditetapkan berdasarkan surat keputusan dari penyelenggaraan satuan pendidikan yang berbadan hukum. Program studi yang dipilih oleh calon mahasiswa harus sesuai dengan mata pelajaran yang diampu atau sesuai/serumpun dengan latar belakang pendidikan sebelumnya.

D. Ketenagaan
Ketenagaan yang diharapkan tersedia dan dapat mendukung penyelenggaraan Program Sarjana (S-1) Kependidikan bagi Guru dalam Jabatan, di antaranya: dosen, pengelola program, tenaga administrasi, laboran/teknisi dan pengelola perpustakaan.
Perguruan tinggi penyelenggara dipersyaratkan memiliki kualifikasi dosen sebagaimana tercantum dalam kebijakan dan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal pelaksanaan perkuliahan yang dilakukan di luar kampus perguruan tinggi penyelenggara dapat menjalin kemitraan dengan perguruan tinggi lain, baik dalam penggunaan sarana perkuliahan maupun bantuan/pemanfaatan sumber daya manusia (dosen). Dosen yang diperbantukan dalam pelaksanaan perkuliahan tersebut ditetapkan oleh pimpinan perguruan tinggi penyelenggara atas usulan perguruantinggi mitra dengan kualifikasi sesuai peraturan perundangan. Pengelola program perlu memiliki keahlian manajerial dalam pelaksanaan pembelajaran mandiri. Untuk itu perlu didukung oleh tenaga administrasi dan tenaga penunjang akademik sesuai dengan kebutuhan dan kondisi perguruan tinggi penyelenggara.

E. Sarana/prasarana dan Pendanaan
Jenis sarana dan prasarana yang perlu tersedia untuk mendukung penyelenggaraan Program Sarjana (S-1) Kependidikan bagi Guru dalam Jabatan, di antaranya: ruang perkuliahan, ruang dan perlengkapan praktek dan praktikum (laboratorium), ruang dan perlengkapan ICT, perpustakaan, dan sekolah mitra sebagai tempat kegiatan PPL. Sarana dan prasarana yang dimiliki oleh perguruan tinggi harus menjadi pertimbangan dalam penerimaan jumlah mahasiswa yang akan diterima untuk setiap rombongan belajarnya sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan.
Penyelenggaraan Program Sarjana (S-1) Kependidikan bagi Guru dalam Jabatan akan dapat berlangsung dengan baik bila didukung ketersediaan dana yang memadai. Pendanaan program ini dapat berasal dari mahasiswa (swadana), kerjasama dengan pemerintah daerah (stakeholders) dan sumber lainnya. Pengelolaan dana dilakukan secara terintegrasi dengan pengelolaan dana lainnya sesuai dengan aturan yang ada di perguruan tinggi penyelenggara.

F. Kemitraan dan Kerjasama
Dalam penyelenggaraan Program Sarjana (S-1) Kependidikan bagi Guru dalam Jabatan perlu dilakukan kemitraan dan kerjasama dengan pemerintah daerah, perguruan tinggi, dan lembaga lain yang terkait. Kemitraan dengan pemerintah daerah dilakukan dalam rekrutmen mahasiswa, pemberian bantuan belajar, dan pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana penunjang perkuliahan yang dituangkan dalam bentuk MoU. Kemitraan dengan perguruan tinggi dalam bentuk resources sharing, antara lain dapat dilakukan untuk memfasilitasi kegiatan pengembangan program, pemanfaatan SDM, pengadaan bahan belajar mandiri, pelaksanaan perkuliahan, kegiatan praktik dan praktikum.
Perguruan tinggi penyelenggara dapat bermitra dengan perguruan tinggi lain yang berlokasi di wilayah tertentu dalam menyelenggarakan program studi tertentu, jika di wilayah tersebut tidak ada programstudi yang ditugaskan untuk menyelenggarakan program sarjana (S-1) kependidikan bagi guru dalam jabatan. Khusus program studi kependidikan dalam bidang tertentu yang belum diselenggarakan oleh perguruan tinggi penyelenggara program pengadaan tenaga kependidikan dapat diselenggarakan oleh perguruan tinggi penyelenggara program pengadaan tenaga kependidikan melalui kemitraan dengan perguruan tinggi yang memiliki program studi yang relevan. Naskah Akademik Program Sarjana (S-1) Kependidikan bagi Guru dalam Jabatan 19 Kemitraan dengan lembaga lain, seperti: LPMP, P4TK, dan dinas pendidikan (pengelola KKG, MGMP) atau lembaga lainnya (seperti: Balai Latihan Kerja, DuDi, BLPT) dapat dilakukan dalam hal penggunaan sarana dan fasilitas untuk kegiatan perkuliahan.



G. Monitoring dan Evaluasi Program
Secara internal, perguruan tinggi penyelenggara melakukan monitoring dan evaluasi untuk menjaga kualitas penyelenggaraan program dengan menggunakan instrumen yang telah ditetapkan oleh Ditjen Dikti. Perguruan tinggi penyelenggara melakukan monitoring dan evaluasi terhadap penyelenggaraan program yang dilaksanakan oleh perguruan tinggi mitra. Adapun monitoring dan evaluasi secara menyeluruh dan berkala terhadap penyelenggaraan program dilaksanakan oleh tim monev yang ditunjuk oleh Ditjen Dikti. Apabila hasil monitoring dan evaluasi menunjukkan adanya pelanggaran ketentuan penyelenggaraan, tim monev dapat merekomendasikan pencabutan ijin perguruan tinggi tersebut sebagai penyelenggara program sarjana (S-1) kependidikan bagi Guru dalam Jabatan.

H. Perguruan Tinggi Penyelenggara
Perguruan tinggi yang akan menyelenggarakan Program Sarjana (S-1) Kependidikan bagi Guru dalam Jabatan perlu memperhatikan ketentuan-ketentuan sebagai berikut: (1) memiliki ijin penyelenggaraan dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti), (2) terakreditasi minimal B dan kecuali untuk program studi S-1 PGSD/ PGTK/ PGPAUD minimal memiliki ijin penyelenggaraan dari Ditjen Dikti, (3) memiliki perjanjian kerja sama dengan kepala daerah dan perjanjian kemitraan dengan perguruan tinggi lain, (4) sarana dan prasarana penunjang, (5) bahan ajar yang tersedia, dan (6) laporan program studi berbasis evaluasi diri (EPSBED). Lembaga penyelenggara Program Sarjana (S-1) Kependidikan bagi Guru dalam Jabatan harus memiliki komitmen tinggi yang ditunjukkan dengan adanya kesadaran pemahaman yang lengkap dan mendalam. Hal tersebut dituangkan dalam Naskah Akademik Program Sarjana (S-1) Kependidikan bagi Guru dalam Jabatan 20 perencanaan yang matang dan komprehensif berupa rencana strategis lembaga. Rencana strategis tersebut tercermin dalam usulan program yang kredibel. Komitmen lembaga harus dinyatakan dalam bentuk pernyataan tertulis dan dilampirkan pada saat pengajuan proposal penyelenggaraan program.

II. Implementasi PP no 19 tahun 2005
DAMPAK terhadap pengambilan kebijakan. Pasal 68 Peraturan Pemerintah Republik Indonesi Nomor 19 Tahun 2005 menyebutkan: Hasil ujian nasional digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk: (a) pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan, (b) dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya, (c) penentuan kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan pendidikan, dan (d) pembinaan dalam upayanya untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Mengingat pentingnya hasil UN tersebut, maka pengelolaan UN harus baik yang ditangani oleh tenaga-tenaga profesional. Pengelolaan UN yang dimaksud adalah pengaturan serta langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam penyelenggaraan UN yang meliputi (1) tahap persiapan, (2) tahap pelaksanaan, dan (3) tahap pengolahan hasil.
Dari ketiga tahap tersebut, yang sangat menentukan taraf kesahihan nilai UN adalah tahap pelaksanaan. Apabila pelaksanaan UN sesuai dengan ketentuan POS UN (tidak ada kecurangan/penyimpangan) sehingga menghasilkan nilai UN yang sahih merupakan informasi yang relevan dan akurat, maka dapat dipergunakan sebagai landasan menentukan kebijakan yang tepat bagi pengambil keputusan.
Sebaliknya, apabila pelaksanaan UN terjadi kecurangan/ penyimpanagan, maka nilai UN akan memiliki kesahihan yang rendah, artinya nilai UN itu tidak mencerminkan prestasi akademik yang sebenarnya. Nilai UN yang demikian itu jika digunakan sebagai landasan menentukan kebijakan dapat dipastikan kebijakan yang diambil itu salah/sesat.
Memperhatikan pelaksanaan UN tahun ini masih banyak ditemukan kecurangan, dapat dipastikan nilai UN di sejumlah sekolah di berbagai daerah memiliki taraf kesahihan yang rendah. Oleh sebab itu, penggunaan nilai UN sebagai salah satu pertimbangan untuk implementasi Pasal 68 PP RI Nomor 19 Tahun 2005 di atas harus hati-hati dan selektif.
Jika kesahihan nilai UN itu rendah, kemudian digunakan untuk pengambilan kebijakan, maka kebijakan yang diambil itu menjadi sesat atau tidak tepat. Sebagai ilustrasi, misalnya, program pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan menggunakan nilai UN sebagai dasar satu-satunya, maka yang terjadi adalah salah sasaran terhadap satuan pendidikan yang dijadikan objek pembinaan dan pemberian bantuan itu.
Sebagai ilustrasi lain, penggunaan nilai UN SMP/Tsanawiyah dalam PSB sebagai satu-satu dasar seleksi masuk SMA negeri adalah kurang tepat karena banyak alumni SMP/Tsanawiyah yang secara riil memiliki kemampuan akademik tinggi tetapi bernasib kurang mujur dalam UN (karena tidak ada bantuan), kalah bersaing dengan rekan-rekannya yang secara riil memiliki kemampuan akademik rendah meski nilai UN-nya lebih tinggi.
Kebijakan penggunaan nilai UN SMP/Tsnawiyah sebagai satu-satunya dasar seleksi masuk SMA negeri pernah dilaksanakan di Kota Metro tahun 2006. Diharapkan kebijakan yang sama tidak lagi terjadi pada PSB SMA tahun 2007 ini. Selain tidak menguntungkan bagi calon siswa dan SMA yang menerimanya juga kebijakan itu tidak sejalan dengan Pasal 68 butir b PP RI Nomor 19 Tahun 2005 yang menyatakan bahwa hasil UN digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya.
Bagaimana solusi mengatasi kecurangan pelaksanaan UN?
Penulis berkeyakinan kecurangan dalam pelaksanaan UN akan terus terjadi selama nilai UN tetap dijadikan salah satu penentu kelulusan peserta didik. Pengawasan yang dilakukan oleh petugas tim pengawas independen (TPI) tidak menjamin tidak terjadinya kecurangan dalam pelaksanaan UN. Tingkat idealisme, moralitas, kredibilitas, integritas serta tanggung jawab anggota TPI tidak sama orang per orang.
Tidak menutup kemungkinan ada anggota TPI yang mau diajak "main mata" atau memberi toleransi kepada sekolah melakukan kecurangan, atau bentuk-bentuk lainnya sehingga memberi keuntungan bagi sekolah yang diawasinya.
Sebaliknya, pasti ada dan banyak anggota TPI melaksanakan sesuai tupoksihnya secara ketat sehingga sekolah yang diawasinya merasa dirugikan oleh keberadaannya. Karena itu bisa saja terlontar seloroh dari kepala sekolah bahwa "keberadaan TPI menimbulkan ketidakadilan dalam pelaksanaan UN", karena ada sekolah yang diuntungkan dan ada pula sekolah yang dirugikan sebagai akibat perbedaan tingkat keketatan pengawasan yang mereka lakukan.
Selain pengawasan oleh TPI tetap dilakukan, kecurangan pelaksanaan UN dapat diatasi dengan cara sebagai berikut.
Pertama, setiap peserta UN merespons paket soal yang berbeda. Ini berarti tiap ruang ujian disiapkan sebanyak 20 perangkat/paket tes setara, yaitu sama dengan jumlah maksimal perserta UN di setiap ruang ujian. Dengan demikian, manakala pihak sekolah akan berbuat curang dengan memberi jawaban kepada para siswanya, maka akan diperlukan waktu yang cukup banyak karena harus membuat jawaban dari masing-masing paket tes; yaitu sebanyak 20 macam jawaban soal.
Kedua, pendistribusian paket tes oleh pengawas ruang kepada peserta ujian di setiap ruang ujian dilakukan secara random/acak. Cara ini dimaksudkan untuk memperkecil peluang pihak sekolah dapat memberikan jawaban soal kepada peserta ujian yang sesuai dengan paket tes yang diresponsnya. Dengan cara demikian, diharapkan peserta ujian akan bekerja mendiri tanpa menunggu bantuan jawaban dari gurunya.
Jika cara ini bisa dilaksanakan, penulis berkeyakinan nilai UN akan memiliki tingkat kesahihan yang tinggi, artinya nilai UN benar-benar mencerminkan kemampuan akademik riil dari siswa yang bersangkutan. Namun demikian, kita harus siap dengan risiko yang akan terjadi, yaitu ketidaklulusan peserta ujian dengan persentase yang tinngi. Beranikah kita?
Konsekuensi dari penerapan solusi di atas adalah bertambah beratnya beban tugas dan tanggung jawab Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) karena harus menyiapkan 20 (dua puluh) paket tes setara (parallel test) untuk tiap mata pelajaran. Untuk kepentingan penyiapan tes setara atau parallel test, BSNP dapat bekerja sama dengan para pakar psikometri di Pusat Sistem Penilain Depdiknas. Di Pusat Penilaian Depdiknas sudah tersedia bank soal yang bisa dimanfaatkan dalam penyiapan paket-paket tes setara.
Cara lain mengatasi kecurangan pelaksanaan UN ialah menghilangkan fungsi nilai UN sebagai (1) salah satu penentuan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan, (2) dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya. Ini berarti harus merubah atau merevisi isi Pasal 68 PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Menurut penulis, nilai UN cukup difungsikan sebagai komponen penentuan kelulusan perserta didik. Jadi, kelulusan peserta didik ditentukan oleh beberapa komponen yang masing-masing ditetapkan proporsi atau persentasenya. Jumlah mata pelajaran yang di UN-kan juga tidak hanya terbatas tiga mata pelajaran, sebaiknya semua mata pelajaran yang menjadi ciri khas masing-masing program/jurusan.
Selanjutnya, seleksi calon siswa baru masuk SLTA (SMA, SMK, Aliah) cukup menggunakan instrumen seleksi lainnya, seperti tes bakat skolastik, tes intelegensi, tes minat, tes kesehatan atau tes lainnya sesuai dengan kriteria pada satuan pendidikannya. Sebab, jika nilai UN masih digunakan sebagai salah satu dasar seleksi masuk SLTA, maka akan menjadi pendorong kuat kecurangan pelaksanaan UN tingkat SLTP (SMP, Tsnawiyah).
Jika cara terakhir ini bisa dilaksanakan, penulis berkeyakinan pihak sekolah tidak terdorong atau termotivasi lagi untuk berbuat curang dalam pelaksanaan UN. Akhirnya kemurnian nilai UN bisa dimiliki oleh peserta didik lagi seperti pada waktu pelaksanaan Ebtanas tempo dulu. Dan, guru tidak lagi harus mengorbankan harga diri dan kredibilitasnya di mata peserta didiknya demi kelulusan mereka.
III. IMPLEMENTASI KEB1JAKAN UNDANG-UNDANG S1SDIKNAS NOMOR 20 TAHUN 2003
Salah satu amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahim 1999 yang diperbahanii dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah adalah pengelolaan pendidikan di daerah yang berlandaskan demokratisasi dalam penyelenggaraan pendidikan, dari azas sentralistik ke desentralistik. Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan National, azas desentralisasi pengelolaan pendidikan dituangkan. Desentrasilisasi pendidikan berani terjadinya Pelimpahan kekuasaan dan wewenang yang lebih luas kepada daerah untuk membuat perencanaan dan mengambil keputusannya sendiri dalam rnengatasi permasaiahan yang dihadapi di bidang pendidikan. Dengan demikian pada hakikatnya lahimya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas diilihami oleh semangat desentralisasi di bidang pendidikan. Undang-Undang ini sudah berjalan kurang lebih 3 tahun dengan segala implikasinya.
Dalam konteks desentralisasi pendidikan ini, peran serta pemerintah daerah dan masyarakat sangat menentukan, Di level kabupaten/kota, peran lembaga DPRD, bupati/walikota, Dinas Pendidikan, dan Kantor. Otonomi Pendidikan Kebijakan Otonomi Daerah dan Aplikasinya Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan, ialah pentingnya peran lembaga pendidikan (sekolah) dalam mewujudkari desentralisasi pendidikan. Berbeda dengan bidang yang lain, desentralisasi pendidikan sampai kepada ujung tombak pendidikan, yaitu sekolah-sekolah.
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, menyatakan bahwa pendidikan nasional berfimgsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang bemnan dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 ini pula pendidikan mendapatkan tempat dan peran strategis di dalam sistem pendidikan nasional.Di dalam proses perwujudannya, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas ini tentu memiliki implikasiimplikasi, baik positif maupun negatif serta mcnghadapi persoalan-persoalan dan kendala-kendala. Begitu pula dengan pendidikan di daerah. Bagaimana implementasi kebijakan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas ini dalam aspek pendidikan di daerah, berikut persoalan-persoalan dan kendalakendalanya perlu digali dan diungkapkan untuk menghasilkan temuan ilmiah melalui penelitian.
Tujuan penelitian implementasi kebijakan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas mengenai pendidikan, bertujuan untuk menggali data dan informasi tentang:
1. Peraturan Daerah, Keputusan Walikota, Keputusan Dinas Pendidikan Kota Banjannasin, dan Keputusan Kantor Departemen Agama, yang terkait dengan kebijakan pendidikan nasional utamanya pendidikan.
2. Materi-materi pendidikan.
3. Implementasi keputusan-keputusan dan peraturan-peraturan yang terkait dengan kebijakan pendidikan nasional utamanya pendidikan.
4. Manfaat adanya kebijakan pendidikan.
5. Problematika pendidikan.
0 komentar:

Posting Komentar